Cara Pemerintah Menuntaskan Konflik Agraria Menentukan Wajah Negeri Ini
3 jam lalu
Artikel ini mengulas peran pemerintah dalam konflik agraria Indonesia, dari kebijakan reforma agraria hingga kasus Rempang dan IKN.
***
Permasalahan agraria di Indonesia bukanlah isu baru. Sejak disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, persoalan tanah telah menjadi sumber konflik berkepanjangan antara masyarakat, pemerintah, dan korporasi. Tanah yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru sering menjadi pemicu sengketa sosial, mulai dari perampasan lahan, ketidakpastian status kepemilikan, hingga konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan besar.
Sejarah agraria di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan tanah selalu terkait erat dengan politik dan kekuasaan. Pada masa kolonial, praktik tanam paksa dan konsesi perkebunan besar membuat rakyat kecil kehilangan akses atas tanah. Setelah kemerdekaan, UUPA 1960 diharapkan menjadi solusi karena menegaskan prinsip bahwa tanah harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, lebih dari enam dekade berlalu, cita-cita tersebut belum sepenuhnya terwujud.
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2023 tercatat 241 konflik agraria yang melibatkan lebih dari 135 ribu keluarga dan mencakup lahan seluas 638 ribu hektare. Konflik tersebut sebagian besar dipicu oleh ekspansi perkebunan, pembangunan infrastruktur, serta proyek strategis nasional. Fakta ini menegaskan bahwa meskipun pemerintah telah meluncurkan program reforma agraria, implementasinya masih menghadapi tantangan besar.
Pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN mengklaim telah melakukan sertifikasi tanah secara masif lewat program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Tujuannya adalah memberikan kepastian hukum atas tanah bagi masyarakat. Namun, di lapangan, program ini tidak sepenuhnya menyelesaikan akar persoalan. Banyak kasus menunjukkan bahwa sertifikat tanah masyarakat tidak cukup kuat ketika berhadapan dengan izin konsesi perusahaan yang justru dikeluarkan pemerintah sendiri.
Akademisi hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Maria S.W. Sumardjono, menegaskan bahwa masalah utama agraria di Indonesia adalah ketidakselarasan kebijakan pemerintah. Di satu sisi, pemerintah mendorong reforma agraria dan redistribusi tanah, tetapi di sisi lain tetap membuka ruang besar bagi investasi yang kerap mengorbankan hak masyarakat.
“Tanpa keberanian politik untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas modal, reforma agraria hanya akan menjadi jargon,” ujar Maria, dikutip dari Kompas.
Konflik agraria bukan hanya soal hukum tanah, tetapi juga menyangkut dimensi sosial dan politik. Kasus konflik tanah di Pulau Rempang, Batam, menjadi contoh terbaru. Rencana pembangunan kawasan industri berbasis energi baru dan terbarukan menimbulkan penolakan keras dari masyarakat lokal yang telah tinggal di wilayah tersebut selama puluhan tahun. Pemerintah memang hadir dengan janji relokasi, tetapi pendekatan represif aparat justru memperkeruh keadaan. Kasus serupa juga terjadi di Kalimantan, Sumatera, hingga Papua, di mana proyek perkebunan sawit dan tambang memicu konflik berkepanjangan antara masyarakat adat dengan perusahaan.
Tidak hanya itu, proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) juga disebut-sebut sebagai salah satu penyumbang konflik agraria terbesar di sektor infrastruktur. Menurut laporan Katadata, pembangunan IKN memunculkan berbagai persoalan pembebasan lahan yang melibatkan masyarakat adat setempat. Hal ini menegaskan bahwa pembangunan berskala besar sering kali dilakukan dengan mengorbankan hak rakyat kecil.
Dari perspektif regulasi, pemerintah sebenarnya memiliki payung hukum yang cukup kuat. UUPA 1960, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta berbagai peraturan tentang masyarakat adat menjadi landasan. Akan tetapi, lemahnya implementasi, minimnya pengawasan, dan tumpang tindih kewenangan membuat aturan-aturan itu sering tidak efektif. Hal ini sejalan dengan analisis Maria SW Sumardjono yang menyebut konflik agraria di Indonesia sebagian besar merupakan konflik struktural akibat kebijakan yang tidak sinkron, sehingga penyelesaiannya membutuhkan keberanian politik yang lebih kuat.
Selain itu, masalah mafia tanah juga memperburuk situasi. Presiden Joko Widodo sendiri pernah menyinggung soal maraknya praktik mafia tanah yang merugikan masyarakat kecil. Namun, hingga kini, pemberantasan mafia tanah belum menunjukkan hasil signifikan. Banyak kasus yang menggantung dan justru menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Mafia tanah kerap memanfaatkan celah hukum dan lemahnya koordinasi antar instansi, sehingga korban utamanya adalah rakyat kecil yang minim akses hukum.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah juga telah berupaya menghadirkan solusi. Program reforma agraria dengan target redistribusi tanah 9 juta hektare adalah langkah positif, walau realisasinya masih jauh dari target. Upaya legalisasi aset tanah melalui program sertifikasi juga membantu sebagian masyarakat memperoleh kepastian hukum. Namun, selama akar masalah berupa ketidakadilan struktural dan keberpihakan pada investor tidak diatasi, peran pemerintah akan selalu dipertanyakan.
Data terbaru dari KPA bahkan menunjukkan bahwa tren konflik agraria justru meningkat. Sepanjang 2024, terjadi 295 konflik agraria dengan luasan lebih dari 1,1 juta hektare, berdampak pada 67 ribu keluarga di seluruh Indonesia. Angka ini naik sekitar 21 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini menunjukkan bahwa meskipun ada program sertifikasi dan redistribusi tanah, pendekatan yang dilakukan pemerintah belum menyentuh inti masalah: tumpang tindih kebijakan dan minimnya perlindungan terhadap masyarakat kecil.
Dalam menghadapi persoalan ini, peran masyarakat sipil juga sangat penting. Organisasi masyarakat, LSM, hingga akademisi terus mendorong agar pemerintah lebih transparan dalam pengambilan keputusan dan melibatkan warga secara aktif. Tanpa partisipasi publik, kebijakan agraria hanya akan diputuskan secara top-down dan berisiko menimbulkan perlawanan di akar rumput.
Harapan besar masyarakat adalah hadirnya pemerintah sebagai pelindung, bukan sekadar fasilitator kepentingan modal. Pemerintah perlu memperkuat komitmen politik dalam melaksanakan reforma agraria sejati, yakni menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Ini berarti keberanian meninjau ulang izin-izin konsesi yang bermasalah, melindungi masyarakat adat, serta menindak tegas mafia tanah. Selain itu, transparansi dalam proses perizinan dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan harus diperkuat agar tidak ada lagi keputusan sepihak yang merugikan warga.
Ke depan, peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah agraria akan menentukan wajah pembangunan Indonesia. Apakah pembangunan akan berjalan inklusif dengan mengedepankan keadilan sosial, atau justru semakin menyingkirkan kelompok rentan dari tanah mereka sendiri? Pertanyaan ini masih terbuka, dan jawabannya ada pada langkah konkret yang diambil pemerintah hari ini.
Permasalahan agraria adalah persoalan fundamental bangsa ini. Pemerintah memegang kunci utama penyelesaiannya, tetapi keberhasilan hanya mungkin tercapai jika kebijakan berpihak pada rakyat, bukan pada modal semata. Seperti kata Prof. Maria Sumardjono, keberanian politik adalah syarat mutlak. Tanpa itu, reforma agraria hanya akan menjadi slogan kosong di tengah terus bergulirnya konflik tanah di Indonesia.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler